6 November 2008

Bab I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Ekosistem karst merupakan ekosistem yang unik dilihat dari berbagai aspek geografis. Bentang alam ekosistem karst sangat indah seperti telaga, polje, doline, lapies, lembah kering, bukit dan menara karst yang terbentuk akibat proses pelarutan batuan gamping. Keanekaragaman organisme endemik seperti walet, kelelawar, mahoni, jati memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Konservasi sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengelolaan perlu dilakukan untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman organisme kawasan karst.
Keindahan, keunikan, dan kebudayaan kawasan karst memiliki nilai jual yang tinggi bagi sektor pariwisata. Gua-gua karst dapat memberikan kenikmatan para wisatawan baik dari segi keindahan, keunikan, ilmu speleologi yang dapat diambil dari penjelajahan gua karst horisontal maupun vertikal. Bentuk wisata unik lainya di kawasan karst adalah pemanjatan tebing karst yang dapat memacu adrenalin wisatawan.
Tujuan pengelolaan kawasan karst menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor: 1456.K/20/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 mengenai pedoman pengelolaan kawasan karst adalah mengoptimalkan pemanfaatan kawasan karst guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pemanfatan dan perlindungan kawasan karst pada golongan Kelas I atau kawasan konsevasi karst hanya dapat dilakukan kegiatan yang tidak berpotensi mengganggu proses karstifikasi, merusak bentuk-bentuk karst di bawah dan di atas pemukaan, serta merusak fungsi kawasan karst.
Kawasan eko-karst Gunung Sewu telah dicanangkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 6 Desember 2004 berdasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor: 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan Nomor: 1659.K/40/MEM/2003 tanggal 1 Desember 2004. Diharapkan dengan pencanangan kawasan eko-karst Gunung Sewu dapat memberikan kepastian arah pengembangan kawasan karst, terjaminnya pelaksanaan berbagai pembangunan kawasan karst yang berwawasan lingkungan, termasuk pembangunan ekowisata, terjaganya sumberdaya kawasan karst, meningkatnya kesejahteraan masyarakat penghuni kawasan karst, dan tersosialisasikannya kawasan karst Gunung Sewu. Arahan pengembangan yang dicanangkan oleh pemerintah salah satunya adalah berkembangnya ekowisata, hutan lestari dan hutan rakyat (Departemen ESDM, 2004). Daerah karst di Gunung Sewu merupakan jenis karst yang berada pada kawasan tropis basah dan merupakan salah satu model karst berbentuk kerucut di dunia. Keunikannya ini membuat Gunung Sewu diberi status kawasan eko-karst.
Gunung Sewu memiliki bukit karst diperkirakan berjumlah 40.000 bukit pada ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Tim Arkeologi Universitas Gadjah Mada selama lima tahun terakhir mencatat, terdapat 11 kecamatan di Gunungkidul yang memiliki kawasan karst dengan situs goa mencapai 40 situs di tiap kecamatan. Namun, sejumlah goa saat ini telah ditambang, di antaranya Goa Sengok di Playen. Sementara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul telah menetapkan kawasan wisata karst, di antaranya Goa Seropan, Kecamatan Semanu, dan Goa Maria di Kecamatan Playen (Kompas, 2004).
Kawasan karst Gunung Sewu memiliki aneka fungsi yang berkaitan erat dengan situs pengembangan iptek, sumberdaya alam hayati dan nirhayati yang memberi nilai ekonomi jangka pendek dan jangka panjang, tatanan sosio-budaya masyarakat yang khas, dan konservasi sumberdaya alam. Nilai ekonomi kawasan karst antara lain dapat digali aspek sumberdaya mineral, pengelolaan air, pariwisata, kehutanan, pertanian, perikanan, sumberdaya ekonomi walet dan sebagainya. Kegiatan eksploitasi nilai ekonomi di kawasan karst harus dapat diselaraskan dengan upaya pelestarian nilai-nilai strategis yang di milikinya.
Diharapkan kelestarian ekosistem karst Gunung Sewu dapat terjaga dengan adanya pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat Gunung Sewu dan konflik antara kepentingan manusia dan kelestarian alam dapat teratasi.

1.2. Perumusan Masalah
Sejalan dengan pertambahan penduduk, kemajuan teknologi dan kemajuan pembangunan ancaman terhadap keberadaan kawasan karst semakin meningkat. Ancaman pertama yang paling kuat terhadap kelestarian kawasan karst adalah penambangan batugamping secara besar-besaran sebagai bahan baku untuk industri semen, dan penambangan rakyat yang cukup banyak, sehingga sebagian besar fenomena karst hilang. Ancaman yang kedua adalah perubahan tata air dikawasan karst. Perubahan tata air pada kawasan karst dapat terjadi oleh beberapa sebab, antara lain oleh: vegatasi penutup, pembuatan bendung dan pompa airtanah yang berlebihan. Perubahan vegatasi penutup akan mengakibatkan aliran permukaan yang besar, akibat air yang tersimpan pada lapisan tanah/batuan bagian atas berkurang sehingga akan mengurangi intensitas proses pelarutan. Bendungan pada kawasan karst akan merubah tata air, karena sifat batugamping yang banyak kekarnya, sehingga ada kebocoran atau rembesan melalui kekar yang tergenang air, akibat akan terjadi proses pelarutan pada kawasan baru. Kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan sering mengakibatkan erosi permukaan, akibatnya lapisan tanah atas sebagai media meresapkan air kedalam batuan berkurang, sehingga proses pelarutan menurun bahkan dapat berhenti. Apabila proses pelarutan berhenti maka kawasan karst menjadi mati, tidak terjadi lagi gemericik aliran air dan tetasan air dari stalagtit, ornamen dan speleotem kering tidak basah lagi seperti onggokan travertin (Sutikno dan Haryono, 2000).
Isu kekeringan hampir setiap tahun melanda kawasan karst Gunung Sewu, sementara aspek hidrologi kawasan karst merupakan lumbung air yang tersedia sepanjang tahun. Sungai bawah tanah di Gua Bribin, Kabupaten Gunungkidul, merupakan usaha manusia untuk memanfaatkan air karst yang diberikan oleh alam. Sungai bawah tanah Bribin yang debitnya sekitar 1000 liter/detik dimanfaatkan oleh sekitar 80-100 liter/detik untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi 79.000 jiwa atau 6.000 KK penduduk di sekitar gua (Siaran Pers ESDM, 2004). Akan tetapi penambangan batu gambing di daerah Ponjong yang merupakan kawasan resapan bagi sistem hidrologi Bribin dapat menjadikan masalah yang dapat mengganggu pasokan air bagi masyarakat sekitar.
Kawasan karst sangat rentan terhadap kerusakan dikarenakan nilai ekonominya yang sangat tinggi. Lingkungan Eko-Karst memiliki fungsi dualisme antara kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan, dimana sangatlah sukar untuk menjaga keseimbangan lingkungan karst dalam pengelolaan kawasan. Diperlukan usaha dari tiap unsur masyarakat untuk melindungi kelestarian kawasan karst. Diharapkan dengan pengembangan pariwisata dapat menjadi alternatif solusi permasalahan pengelolaan kawasan karst.
Menurut Sharples (Anonim, 2000) Geokonservasi didasari pada geodiversitas yang utama karena proses geologi, bentuklahan dan tanah adalah dasar esensial dari proses ekologikal bergantung. Fokus utama dari geokonservasi adalah melindungi geodiversitas alami dan upaya tidak hanya melindungi kenampakan yang berhubungan langsung atau nilai yang mengilhami manusia, tetapi juga upaya untuk menjaga pengolahan ekologi alami yang difokuskan pada urusan konservasi alami. Elemen dari geodiversitas tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan baik sebagai kepekaan atau daya tahan terhadap kerusakan, elemen apapun dari geodiversitas yang bekerja pada beberapa tipe dari gangguan dan daya tahan dalam sisi lainnya. Karenanya dalam menilai kepekaan dari kenampakan atau proses tertentu, sangat penting untuk mengidentifikasi aktivitas yang mengganggu dalam kajian dari penilaian yang dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menarik untuk dikaji sebagai berikut :
1. bagaimana karateristik morfologi karst Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu?
2. bagaimana tingkat kepentingan aspek-aspek morfologi untuk Geokonservasi Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu?
3. bagaimana nilai visual landskap untuk pengembangan wisata alam Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu?
4. bagaimana arahan pengembangan wisata alam di Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu?
Dari latar belakang dan perumusan masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan peneliian dengan judul “KAJIAN MORFOLOGI KARST UNTUK GEOKONSERVASI DAN PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKO-KARST GUNUNG SEWU”.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini meliputi :
1. mengetahui karateristik morfologi karst kawasan Eko-Karst Gunung Sewu
2. mengetahui tingkat kepentingan aspek-aspek morfologi untuk Geokonservasi Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu
3. mengetahui nilai visual landskap untuk pengembangan wisata alam Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu
4. mengetahui arahan pengembangan wisata alam di Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu

1.4. Kegunaan Penelitian
1. nilai kepentingan dari kawasan karst dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
2. penelitian dapat menjadi masukan bagi pertimbangan-pertimbangan dalam pengembangan pariwisata yang memperhatikan lingkungan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan.
3. hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Kawasan Karst
Karst berasal dari kata Slovenia Kras yang digunakan untuk menjelaskan bentuklahan di Notranjski yang meliputi Postojna Cave, Cerknisvko Polje dan Rakov Skicjan. Pada perkembangannya selanjutnya istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan suatu lahan yang mempunyai pola drainase khas, yang dikontrol oleh pelarutan. Kemudian istilah tersebut dipersempit menjadi daerah dengan batugamping yang memiliki sistem drainase yang jarang, solum tanah tipis dan keberadaannya hanya pada bebrapa tempat, cekungan tertutup dan sistem drainase bawah permukaan (Summerfield, 1970 dalam Sweetings, 1972). Karst merupakan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, doline, dan gua.
Menurut White (……) daerah karst umumnya dicirikan dengan adanya cekungan tertutup dengan ukuran dan susunan bervariasi, tidak memiliki drainase permukaan, adanya gua dan sistem drainase bawah tanah. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, tetapi pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, evaporit seperti halnya gips dan halite, silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Daerah karst dapat juga terbentuk oleh proses yang lain - cuaca, kegiatan hidrolik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu).
Pada kondisi iklim tropis bentang alam karst dengan funnel-like hollows (biasanya pada daerah dengan iklim yang lebih tinggi) akan di gantikan dengan perbukitan kubah terpisah dengan lembah irregular atau cockpits. Daerah karst tropis seperti yang terlihat pada Gambar 1.1., dikenal dengan bentukan seperti labirin, cockpits, dan kubah karst. Pada perkembangan lebih lanjut tower karst akan muncul, berkarateristik oleh grup dari steep-side limestone tower (mogotes) terletak di tengah dari dataran aluvial gamping. Dataran gamping, pada umumnya tanpa mogotes dan terletak pada akhir dari wilayah karst, yang dinamakan karst-border plain yang terbentuk kurang lebih saat level phreatic (Zuidam, 1979).
Gambar 1.1. Perkembangan Karst pada daerah Tropis (Zuidam, 1979)



Daya tarik Kawasan karst adalah karateristik bentanglahannya yang mempunyai nilai keunikan dan kelangkaan. Bentukan positif yang berbentuk kubah, dan menara karst yang tersusun dengan pola keruangan tertentu merupakan suatu kenampakan alam yang tidak dijumpai pada bentang alam lain. Bentukan negatif yang berbentuk doline, uvala, polje, cockpits, sungai bawah permukaan, luweng, gua dengan stalaktit dan stalakmit kenampakan yang adanya hanya pada kawasan karst. Kelengkapan bentukan positif dan negatif pada suatu kawasan merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi untuk dijadikan kawasan perlindungan dan obyek wisata alam (Sutikno dan Haryono, 2000).

1.5.2. Morfologi Karst
Geomorfologi di definisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mendeskripsikan (secara genetis) bentuklahan dan proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut serta mencari hubungan antara bentuklahan dengan proses-proses dalam susunan keruangan (Dibyosaputro, 2001). Dengan demikian dapatlah dijelaskan beberapa aspek utama geomorfologi yaitu: morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (morfostruktur pasif, morfostruktur aktif, dan morfo-dinamik), morfokronologi, dan morfoaransemen (Zuidham tahun dalam Dibyosaputro, 2001).
Dalam survei geomorfologi ada tiga pendekatan utama yang digunakan yaitu survei analitik, survei sintetik, dan survei pragmatik. Pada survei analitik dikaji aspek-apek geomorfologi seperti litologi, morfometri, morfografi, proses, morfogenesis, morfokronologi, dan berbagai informasi terkait lainnya. Pada survei sintetik kajian ditekankan pada kontribusi konteks kelingkungan dan hubungan atara bentanglahan dengan ekologi. Perpaduan antara survei analitik dan survei sintetik yakni survei pragmatik yang berorientasi pada masalah yang ada dan pengembangannya (Verstappen, 1983). Penelitian ini menekankan pada aspek morfologi (morfografi).
Geomorfologi sebagai salah satu ilmu kebumian dapat memberikan kontribusi dalam menentukan kawasan yang perlu dilindungi atau dilestarikan. Kriteria geomorfologi untuk tujuan perlindungan dan pencagaran lingkungan karst tersebut antara lain: keunikan morfologi baik makro maupun mikro, kepadatan dan ukuran kelurusan, pola saluran baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan, asal mula pembentukan yang spesifik dan kekhasan gua karst (Sutikno, …). Bentukkan morfologi mayor dan minor yang dikaji pada penelitian kali ini antara lain:
1.5.2.1. Karren
Karren merupakan bentuk-bentuk permukaan kasar pada permukaan batugamping akibat proses pelarutan dan pengerusan (Thronbury, 1958). Sweeting (1972) mengemukakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan karren yakni; reaksi kimia alami, besar dan distribusi curah hujan, karateristik batugamping, kekar dan kemiringan lereng, kondisi penutup vegetasi dan kondisi iklim masa lampau.
Klasifikasi tipe karren yang dikemukakan oleh Ford dan Williams, 1996 didasarkan pada bentuk luarnya, yaitu meliputi tipe-tipe karren
1. membentuk datar membulat (plan circular), yaitu
a. micropit, berbentuk seperti lubang dengan lebar yang bervariasi dan umunya berukuran kurang dari 1mm.
b. pit, berbentuk membulat, oval atau datar tetapi tidak teratur dan berdiameter lebih dari 1mm.
c. pan, berbentuk lingkaran, elips hingga berbentuk datar, tidak teratur, umunya searah dengan perlapisan batuan dengan diameter lebih dari 1 cm dan terisi oleh material endapan
d. heelprint atau treetkarren, berbentuk datar, terbuka ke arah lereng bawah dengan diameter 10 hingga 30 cm.
e. shaft atau well, berbentuk seperti terowongan ke arah bawah dan berhubungan dengan gua-gua kecil (protocave)
2. berbentuk lurus terkontrol kekar
a. microfissure, merupakan petunjuk rekahan minor, berbentuk longjing dan panjangnya hanya beberapa sentimeter dan kedalamannya jarang yang lebih dari 1 cm
b. splitkarren, berasosoasi dengan kekar, panjang hanya beberapa sentimeter hingga dapat mencapai beberapa meter. Splitkarren dapat tertutup dan berakhir pada rekahan atau terbuka yang berakhir dengan karren lain
c. grike atau kluftkarren, berasosiasi dengan kekar yang relatif besar atau patahan. Tipe ini merupakan kenampakan yang meninjol sekali dengan ukuran panjang 1 – 10 meter
d. clint atau flachkarrent, berbentuk seperti blok-blok dan berasiosiasi dengan grike
3. berbentuk lurus terkontrol tekanan air
a. microrill atau rillenstein, merupakan alur kecil dengan lebar sekitar 1 mm. Gerakan air terkontrol oleh gaya kapiler atau gaya gravitasi atau oleh gerakan angin
b. rillenkarren, berbentuk seperti saluran yang berawal dari puncak sampai lereng bawah. Aliran air dihasilkan oleh air hujan dan jatuh tanpa penuangan. Berukuran lebar 1-3 cm
c. solution karren, berbentuk seperti saluran yang bergerak ke arah lereng bawah, memiliki pinggiran yang tajam pada batuan yang terbuka (rinnerkarren) atau berbentuk melingkar apabila terdapat di bawah tanah (rundkarren). Saluran menjadi lebih lebar ke arah lereng bawah, lurus membentuk pola aliran radial sentripetal. Berukuran lebar 3 hingga 3 cm dan panjang 1 – 10 meter
d. decantation runner, terbentuk akibat air hujan yang tercutahkan dari lerang atas. Saluran semakin ke arah lereng bawah semakin kecil ukurannya. Ukuran bervariasi dimana panjangnya dapat mencapai 100 meter. Tipe ini meliputi wallkarren dan maanderkaren
e. decantation fluting, terbentuk oleh aliran air yang terlepaskan secara tersebar dan saluran dapat berkumpul menjadi satu dilereng bawah. Berukuran lebar 1 hingga 50 cm
f. fluted scallop atau solution ripple, berbentuk seperti ripple dan mirip kulit kerang, membentuk pola aliran cockling pattern serta terdapat pada lereng landai dan batugamping terbuka
4. tipe poligenetik yang umum dijumpai antara lain
a. karrenfeld, merupakan karren yang berkembang di bawah tanah dan tutupan vegetasi yang kemudian terekspos secara meluas sehingga terbuka atau terbuka sebagian
b. limestone pavement, merupakan karrenfend yang terdapat pada lapisan batuan yang datar atau landai dan didominasi oleh clint dan grike yang teratur dan memperlihatkan seperti bentuk lantai atau ubin. Satu buah clint berukuran 1 meter hingga 10 meter persegi. Padanya dapat tumbuh pit, pan, shaft, dan splitkarren
c. pinnace karren, merupakan karren yang berbentuk seperti tiang-tiang yang runcing pada ujungnya. Merupakan bentuk perkembangan dari clint yang ditumbuhi oleh rundkarren sehingga berubah menjadi lonjong. Kemudian dipertajam oleh pertumbuhan rillenkarren, rinnenkarren, dan wallkarren yang oleh perkembangan selanjutnya satu sama lain bersatu dan membentuk pinnacle karren.
d. ruiniform, merupakan bentuk perkembangan dari clint yang berukuran besar. Proses pembentukannya dimulai dari pemindahan tanah dari grike yang sangat dalam dan lebar oleh proses erosi akan tetapi clint tidak berubah bentuknya menjadi pinnacle. Tipe ini umunya terjadi pada daerah karst dataran tinggi dengan lereng yang landai hingga datar serta telah mengalami deforestisasi dan mengalami erosi tanah yang besar.
e. giant grikeland, merupakan perkembangan dari grike yang diperluas menjadi bentuk yang lebih besar membentuk depresi tertutup seperti lembah yang berbentuk kotak (box valley)
f. coastal karren, merupakan karren yang terbentuk disekitar pantai dimana selain dipengaruhi oleh proses pelarutan juga terpengaruh oleh aktivitas gelombang laut. Bentuk-bentuk yang dihasilkan akan menunjukkan akibat dari energi gelombang, selisih pasang surut, variasi litologi dan struktur geologi. Tipe ini diperlihatkan oleh adanya notches dan keterdapatan pit dan pan dengan kerapatan tinggi.
1.5.2.2. Gua Karst
Gua-gua hanya dapat dibentuk dari batuan yang terlitifikasi, dan jelas bahwa karakter sedimen semula dan sejarah diagenetik adalah faktor-faktor yang mengontrol lokasi sebuah gua. Proses kelahiran sebuah gua biasa disebut dengan speleogenesis, dan fitur dari geologi sangat besar pengaruhnya disini.
Gua adalah setiap ruangan bawah tanah alam di bebatuan yang cukup dimasuki manusia (Union Internationale de Speleologie, tahun ...). Mulut gua terbentuk secara kebetulan. Sebagian terbentuk berhubungan dengan sumber air atau tempat keluarnya air yang juga membentuk gua. Misalnya mulut gua yang berupa swallow hole atau mulut mata air. Mulut gua terbentuk dengan downcutting dari lembah permukaan yang memotong lorong gua atau dengan proses yang komplek: pembentukan lorong gua, sinkhole collapse, atau perpotongan vertical shaft dengan lorong gua.
Gua dapat diklasifikasikan berdasarkan proses terbentuknya menjadi tiga (Mylroie dan Carew, 1995), yaitu:
1. pit caves, goa yang terbentuk dari perkembangan shaft secara terus menerus sampai terbentuk suatu sistem protocave dengan aliran kearah vertikal
2. phreatic caves (flank margin caves dan “banana hole”), merupakan gua yang berkembang di bawah muka airtanah. Flank margin caves terbentuk oleh proses pelarutan pada daerah tepi lensa muka airtanah yang berbatasan dengan muka air laut, proses pelarutan yang terjadi dipengaruhi oleh dua tenaga, yaitu tenaga airtanah dan tenaga air laut. banana hole terbentuk akibat adanya tenaga pelarutan yang bekerja secara horizontal akibat aliran air pada zona muka airtanah.
3. fracture caves, gua yang terbentuk pada zona patahan dan berkembang baik secara vertikal maupun horizontal.
1.5.2.3. Lembah Karst
Morfologi lembah karst dalam perkembangannya terbentuk oleh aliran air dipermukaan karst. Aliran air di permukaan karst tidak selalu dan tidak semuanya menghilang masuk ke dalam retakan batuan tetapi ada sebagian yang terus mengalir disertai proses pelarutan pada batuan yang dilaluinya hingga akhirnya terbentuk lembah karst (Sweeting, 1972). Lembah karst merupakan kelompok topografi karst mayor yang dapat menyunjukkan klasifikasi karateristik dari lembah yang terdapat pada morfologi karst. Lembah dapat diklasifikasikan menjadi empat (Sweeting, 1972), yaitu:
Allogenic valey terbentuk pada daerah karst yang berbatasan dengan batuan tidak larut (insolubel). Lembah ini terbentuk saat proses pelarutan dan aliran permukaan memasuki area karst yang mudah larut sehingga terbentuk lembah allogenic. Lembah allogenic memiliki morfologi lembah yang diapit oleh dinding terjal menyerupai tembok besar yang terbentuk akibat kombinasi tenaga fluvial dan solusional.
Blind valley menurut Thornbury (1954) merupakan lembah di dataran karst yang berakhir menuju ke swallow hole. Pembentukan blind valley dimulai dengan lembah fluvial yang tererosi hingga batuan impermeabel diatas batuan gamping, saat melewati lubang (sinkhole) air akan masuk dan sungai menjadi hilang secara permanen.
Lembah kering atau dry valley merupakan lembah besar yang terbentuk akibat runtuhnya permukaan dikarenakan sungai bawah tanah yang sudah tidak dialiri air sehingga tidak mampu menahan beban material diatasnya.
Lembah saku Poket valley merupakan kebalikan dari blind valley, berasosiasi dengan mataair besar yang berada pada batuan gamping masif. Memiliki bentuk dasar yang datar, terkadang berbentuk U, lembah dengan tebing bertingkat, dan tebing yang curam pada bagian atas .

1.5.2.4. Doline
Doline berasal dari kata Serbian dolinas, doline terbetuk akibat adanya runtuhan sink (Thornburry, 1958). Dalam Ford dan Williams, 1996, doline merupakan cekungan atau depresi tertutup yang umumnya berbentuk membulat atau agak membulat dan memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari beberapa meter hingga ratusan meter. Menurut Cvijic (1983) dalam Haryono dan Adjik (2004), doline berdasarkan morfologinya dapat di kelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. doline berbentuk mangkuk, rasio diameter dan kedalamannya 1:10 dengan kemiringan lereng berkisar antara 10o sampai 200, dasar doline umumnya terisi oleh tanah
2. doline berbentuk corong, rasio antara diameter dan kedalamannya 2:1 sampai 3:1 dengan kemiringan lereng 30 sampai 40 dasar doline tipe ini dekat dengan batas bawah karstifikasi
3. doline berbentuk sumuran, doline tipe sumuran memiliki diameter yang lebih kecil daripada kedalamnya dengan dinding doline vertikal dan dasar doline datar.
Uvala merupakan lahan cekungan memanjang berbentuk oval akibat proses berkembangnya bentuk dan ukuran doline. Terbentuk akibat proses pelarutan maupun runtuhnya dinding doline dengan kedalamannya 100 sampai dengan 200 m. Cockpits merupakan suatu depresi yang mengelilingi kerucut karst atau conical karst hill. Proses pembentukan cockpits erat kaitanya dengan tension dan shear joint pada batugamping. Pembentukan cockpits diakibatkan oleh erosi dan pelarutan intensif pada bidang kekar oleh aliran permukaan sehingga membentuk sink. Polje merupakan cekungan di daerah kapur yang mempunyai drainage di bawah permukaan. Polje memiliki bentuk depresi memanjang dan tidak teratur searah dengan jurus perlapisan. Polje terbentuk akibat struktur sesar pada batuan gamping (Susmayadi, 2006).
Cvijic tahun ... dalam Sweeting, 1972 menyebutkan ada dua tipe dari doline yang berasosiasi dengan gua. Pertama ditemukan bahwa beberapa doline merujuk pada sistem gua pendek dan buntu yang tererosi sepanjang kekar dan rekahan. Jenis ini memiliki lorong terbuka dan menuju pada gua kecil yang berkembang, terkadang horizontal tetapi terkadang berbentuk vertikal seperti corong.
Kedua, Cvijic mengidentifikasi dua tipe doline yang berasosiasi dengan sistem sungai bawah tanah. Pertama di sebut dengan macocha type, dinamakan setelah macocha doline di Devonian limestone of Moravia. Tipe ini memiliki bentuk yang sederhana dimana atap dari sungai bawah tanah runtuh dan menyingkap aliran sungai bawah tanah. Sisi yang curam, dinding yang menyerupai tebing dan kerucut runtuhan dari blok batugamping yang jatuh dapat dijumpai pada tipe ini. Tipe Trebic bersosiasi dengan sungai bawah tanah, tetapi hubungannya tidak langsung. Banyak bagian dan gua besar menghalangi permukaan doline dan sistem sungai bawah tanah. Pada iklim tropis basah, variasi dari curah hujan dari musim penghujan ke musim kering, dan konsekuensi variasi dari volume sungai bawah tanah mengakibatkan tekanan hidrolik yang berbeda sangat besar pada atap gua dan runtuhan dapat terjadi. Kedua tipe doline yang berasosiasi dengan gua ini memiliki morfologi doline sumuran.
1.5.2.5. Kubah, dan Menara Karst
Menurut Ford dan William, 1996, bukit karst adalah topografi positif yang merupakan sisa dari pelarutan yang lokasi dan bentuknya terkait erat dengan lembah tertutup yang ada disekitarnya. Kerucut karst atau conical karst adalah bukit karst yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi.
Menara karst atau tower karst adalah bukit sisa pelarutan dan erosi yang berbentuk menara dengan lereng yang terjal tegak atau menggantung, terpisah satu dengan yang lainnya dan dikelilingi dataran aluvial.
Berdasarkan geometrinya kubah karst dibedakan menjadi dua yaitu asimetric conical karst dan symetric conical karst. Asimetric conical karst adalah kubah karst yang memiliki kemiringan berbeda pada masing-masing sisinya. Perkembangan kubah tipe ini dipengaruhi oleh asal pembentukkannya yang terbentuk pada permukaan yang miring. Symetric conical karst adalah kubah karst yang memiliki kemiringan yang sama pada masing-masing sisinya. Morfologi Kubah karst merupakan pewakil dari tipe karst tropis dan sudah dikenal secara internasional sebagai tipe karst Gunung Sewu (Haryono, 2007)
1.5.3. Geokonsevasi
International Union Conservation of Nature and Natural Resource, 1998 (dalam Wood, 2002) menerangkan bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosfer dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari unuk generasi kini dan mendatang. Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah area alami, seperti ekosistem sungai, ekosistem gunung api, ekosistem karst dan ekosistem pantai. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut lestari sebagai area alam. Pendekatan yang lain bahwa wisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP dalam Wood, 2002) sebagai berikut :
1. menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan
2. melindungi keanekaragaman hayati
3. menjamin kelestarian dan pemanfaatan ekosistem
4. pemanfaatan area alam untuk wisata mempergunakan pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal
Geokonservasi adalah konservasi dari geodiversitas untuk nilai hakekat, ekologikal, dan geoheritage, dimana geodiversitas merupakan keanekaragaman dari kenampakan, kumpulan dan sistem dari geologi (bedrock), geomorfologi (landform), dan tanah. Geokonservasi merupakan sebuah pendekatan management konservasi dari batuan, bentuklahan dan tanah yang mengakui bahwa geodiversitas memiliki nilai konservasi alami (Anonim, 1998).
Pendekatan ini berbeda dengan dengan pendekatan pada ilmu kebumian lainnya. Pendekatan ini didasari pada manajemen lahan seperti manajemen konservasi tanah, lingkungan geologi, dan bahaya geomorfologi, yang mana fokus didasari pada nilai manfaat atau antroposentrik: bahwa ini merupakan pencarian pendekatan akhir untuk mencegah degradasi dari bentuklahan, air, dan tanah (ex. erosi tanah, kontaminasi air tanah, atau karst subsiden) sehingga dapat meminimalisir efek degradasi yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas manusia pada lahan. Pada intinya geokonservasi merupakan usaha untuk mencegah atau meninimalir dampak degradasi dalam upaya melindungi nilai intrinsik bedrock, bentuklahan, dan tanah dibandingkan untuk memanfaatkan kegunaanya (utilitarian value) untuk manusia (Sharples, dalam Anonim, 1998).
Geokonservasi didasari pada geodiversitas juga penting karena proses geologi, bentuklahan dan tanah adalah dasar esensial dari proses ekologikal bergantung. Fokus utama dari geokonservasi adalah melindungi geodiversitas alami dan upaya tidak hanya melindungi kenampakan yang berhubungan langsung atau nilai yang mengilhami manusia, tetapi juga upaya untuk menjaga pengolahan ekologi alami yang difokuskan pada urusan konservasi alami.
Haryono (2007) menjelaskan bahwa nilai intrinsik atau existence value adalah pentingnya suatu singkapan batuan, bentuklahan, dan tanah dalam mewakili suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah. Kepentingan ini terkait dengan kepentingan pemanfaatan oleh manusia, dengan kata lain nilai intrinsik bukanlah merupakan antopocintric judgment. Nilai ekologis atau sering disebut dengan nilai proses alamiah adalah kepentingan obyek yang dikonservasi dalam menjaga kelangsungan sistem dan proses ekologis. Dengan kata lain nilai ekologis diartikan sebagai kepentingan dalam hal menjaga keberlangsungan proses geologi, geomorfologi, pedologi, tetapi juga menjaga keberlangsungan proses biologi yang tergantung pada ketiga sistem fisik tersebut. Heritage value atau nilai antroposentrik merupakan manfaat langsung dari batuan, bentuklahan, tanah untuk manusia.
Nilai kepentingan geokonservasi merupakan penilaian kepentingan suatu obyek untuk dikonservasi dalam hal ini dapat dilihat melalui pertimbangan berikut:
§ kepentingan tinggi, bila suatu obyek merupakan contoh terbaik dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion dan atau memerlukan upaya perlindungan yang mendesak agar dapat menjamin keberlangsungan proses ekologi yang ada.
§ kepentingan sedang, merupakan contah dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion tetapi kualitasnya termasuk kategori menengah dibandingkan dengan obyek yang sama di tempat lain dan upaya perlindungan tidak begitu mutlak diperlukan.
§ kepentingan rendah, contoh yang kurang baik dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion dan atau tidak penting keberadaannya dalam menjaga keberlangsungan proses ekologi yang ada.
§ kepentingan tidak diketahui atau tidak terdapat data atau contoh lain dari obyek yang dinilai untuk diperbandingkan dalam suatu georegion.

1.5.4. Wisata Alam
Ilmu geografi pada dasarnya adalah mempelajari tentang bumi berserta isinya serta hubungan antar keduanya. Semakin meningkatnya tuntunan dan kebutuhan manusia, hal tersebut tidaklah hanya berhenti pada mengetahui dan mempelajari, namun harus dituntut juga mampu memanfaatkan bumi dan isinya tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan pembangunan pada umumnya. Ilmu geografi mempunyai unsur-unsur dasar di dalam pembahasanya, antara lain membahas tentang unsur letak, luas, bentuk, batas dan persebaran. Dengan demikian penekanan kajian geografi adalah didasarkan pada pendekatan keruangan. Melalui pendekatan unsur-unsur geografi tersebut, mempelajari Geografi Pariwisata tidak terlepas darinya sehingga sebelum mempelajari lebih jauh tentang Geografi Pariwisata perlu mengetahui unsur dasarnya (Sujali, 1989).
Pendekatan geografi yang mendasarkan pada aspek keruangan mempunyai kaitan erat dengan persebaran dari suatu obyek pembahasan. Dan secara umum pendekatan geografi dapat dilakukan dengan melihat unsur letak, batas, bentuk maupun luas. Pendekatan letak dapat dilihat dari kedudukan titik yang lain sebagai kuncinya. Unsur yang lain seperti bentuk, batas dan luas akan memberikan informasi tentang cakupan yang akan dikerjakan sehubungan dengan rencana pengembangan dari suatu obyek. Geografi pariwisata, sesuai dengan bidang atau lingkupnya, sasaran atau obyek adalah obyek wisata, sehingga pembahasannya ditekankan pada masalah bentuk jenis, persebaran dan juga termasuk wisatanya sendiri sebagai konsumen dari obyek wisata (Sujali, 1989).
Landasan yuridis dari aspek Kepariwisataan di Indonesia adalah Undang-undang No 9 tahun 1990 yang di sahkan pada tanggal 18 Oktober 1990. Keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan, dalam undang-undang ini dijabarkan bahwa:
1. wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata;
2. pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut;
3. obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata;
4. kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

1.6. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai wisata kawasan karst sudah banyak dilakukan dengan kesimpulan yang beragam untuk metode dan daerah yang berbeda. Suwarsono (2002) dalam penelitiannya “Kajian geomorfologi Karst Minor di daerah antara Kepek dan Pantai Baron Kabupaten Gunungkidul DIY”. Penelitian ini menganalisa tipe-tipe, morfologi dan proses terbentuknya karren. Hasil dari penelitian ini adalah gambaran mengenai kondisi geomorfologi karst minor.
Seperi (2003) mengadakan penelitian tentang Perencanaan Pengembangan Wisata Penelusuran Gua Pengunungan Karst di Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi fisik gua dan karateristik gua-gua untuk wisata petualangan penelusuran gua, dan membuat arahan pengembangan wisata penelusuran gua dengan analisis SWOT. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi observasi dengan metode skoring terhadap variabel-variabel penelitian yakni variabel internal gua dan eksternal serta wawancara terhadap juru kunci gua, mahasiswa pencinta alam yang melakukan aktivitas penulusuran gua sebgai data primer. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini yakni gua di kawasan karst memiliki potensi tinggi untuk wisata penelusuran gua.
Noor (2003) dalam penelitiannya “Geologi Lingkungan Perbukitan Karst dan Pesisir Baron Hingga Sepanjang untuk Zonasi Pengelolaan Kawasan Pariwisata, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY”. Penelitian ini menganalisa sebaran sumberdaya geologi dan bahaya geologi serta membuat zonasi pengelolaan pariwisata di perbukitan karst dan pesisir Baron hingga Sepanjang sehingga dapat disusun arahan bentuk wisata pada masing-masing zona pengelolaan.
Potensi atraksi wisata di Kabupaten Gunungkidul yang berkaitan dengan wisata karst antara lain lintas alam, panjat tebing, terbang layang, penelusuran goa, konservasi hutan dan penghijauan, olahraga sepeda gunung dan perkemahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daerah perbukitan karst meskipun memiliki potensi atraksi wisata yang menarik, sangat rentan terhadap bahaya Gerak Massa Batuan. Dari hasil analisis kerapatan struktur diketahui bahwa daerah dengan struktur kekar yang memiliki kerapatan tinggi rawan terhadap bahaya gerak massa batuan seperti amblesan akibat proses pelarutan yang terjadi intensif pada zona lemah karst.
Joyo (2005) dalam penelitiannya “Inventarisasi Obyek dan Daya Tarik Wisata untuk Jalur Tematik Wisata di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Pariwisata Daerah”. Penelitian ini bertujuan untuk menginventaris jenis ODTW di Kab. Sleman, mengetahui kunjungan wisatawan pada ODTW, membuat jalur wisata tematik dan membuat arahan pengembangan ODTW. Metode yang dilakukan adalah inventarisasi dan klasifikasi data. Dari data yang ada dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan analisis SWOT. Hasil dari penelitian ini adalah Penilaian potensi dan karateristik produk wisata dan Arahan pengembangan ODTW dan Jalur wisata tematik di kab. Sleman.
Suswardana (2006) mengadakan penelitian tentang Geomorfologi Karst daerah Bali Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi karst dan proses yang sedang berlangsung. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini yakni Bervariasinya bentuklahan sepanjang semenanjung Bali Selatan akibat proses pembentukkannya.






































































Dalam Rencana Strategis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Karst Gunung Sewu (Anonim, 2007) terdapat kebijakan untuk pengendalian perubahan morfologi atau bentangalam karst adalah dengan menetapkan sebagian kawasan karst yang memiliki keunikan bentang alam yang masih belum terusik dan kawasan yang telah rusak dan berpotensi memberikan dampak negatif yang lebih besar bagi kelestarian sumberdaya yang ada didalamnya. Agar diperoleh keterpaduan dalam pengolahan, penetapan kawasan perlindungan harus mencakup ketiga kabupaten yang ada di kawasan karst Gunung Sewu (Gambar 1.2.). Kawasan perlindungan tersebut diharapkan juga dapat menjadi daya tarik dan pusat pengembangan kawasan karst, terutama dari sektor pariwisata.
Kab. Gunungkidul

Kab. Gunungkidul

Kab. Gunungkidul

Kab. Gunungkidul
Kab. Wonogiri

Kab. Wonogiri

Kab. Wonogiri

Kab. Wonogiri
Bedoyo dan Sistem Bribin

Bedoyo dan Sistem Bribin

Bedoyo dan Sistem Bribin

Bedoyo dan Sistem Bribin
Mulo

Mulo

Mulo

Mulo
Kali Suci, Jomblang, Grubug

Kali Suci, Jomblang, Grubug

Kali Suci, Jomblang, Grubug

Kali Suci, Jomblang, Grubug
Museum Alam sebagian Pusat Informasi

Museum Alam sebagian Pusat Informasi

Museum Alam sebagian Pusat Informasi

Museum Alam sebagian Pusat Informasi
Lembah Bengawan Solo Purba

Lembah Bengawan Solo Purba

Lembah Bengawan Solo Purba

Lembah Bengawan Solo Purba
Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo

Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo

Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo

Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo
Sungai Baksoko

Sungai Baksoko

Sungai Baksoko

Sungai Baksoko
Kab. Pacitan

Kab. Pacitan

Kab. Pacitan

Kab. Pacitan
Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007)

Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007)

Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007)

Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007)

Berdasarkan telaah pustaka dapat diketahui bahwa telah banyak penelitian yang mengkaji wisata di kawasan Gunung Sewu. Penelitian sebelumnya menekankan pada potensi dari obyek wisata dan Pengelolaan Kawasan Pariwisata. Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan karst Gunung Sewu memiliki potensi yang tinggi untuk di kembangkan menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW). Geokonservasi merupakan suatu hal yang baru dan mulai dikembangkan di dunia untuk menjadi salah satu model konservasi alam. Sehingga penulis tertarik untuk mengkaji prospek pengembangan wisata kawasan karst dengan pendekatan Geokonservasi.

1.7. Kerangka Pemikiran
Kawasan karst merupakan kawasan lindung yang pemanfaatannya haruslah menekankan pada sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan selalu berorientasi pada pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Kawasan eko-karst Gunung Sewu memiliki potensi fisik yang baik untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata meliputi keunikan fenomena bentang alam karst, pemandangan yang indah, dan ilmu pengetahuan. Perbukitan-perbukitan conical yang terbentuk di kawasan karst Gunung Sewu juga merupakan ekotipe khas dari karst tropis basah dengan batuan batugamping tebal dan berteras, yang jarang dijumpai di Indonesia.
Penelitian ini mengkaji dua aspek dari kawasan eko-karst Gunung Sewu yakni aspek morfologi dan panorama. Kriteria morfologi untuk tujuan perlindungan dan pencagaran lingkungan karst yang digunakan adalah variasi, ancaman, dan keunikan morfologi baik makro maupun mikro. Bentukan positif yang dikaji adalah kubah, dan menara karst Bentukan negatif yang dikaji adalah doline, lembah, gua, dan karren sebagai bentukan morfologi minor.
Karateristik alam kawasan eko-karst Gunung Sewu untuk pengembangan wisata belum terkelola dengan baik, sehingga perlu diadakannya kajian Geokonservasi untuk mengetahui kerentanan kawasan Eko-karst Gunung Sewu terhadap kerusakan. Kawasan wisata dipilih pada kawasan konservasi Eko-karst Gunung Sewu karena sesuai dengan tujuan dan aturan dalam pengelolaan kawasan karst. Dimana kawasan konservasi memang diperuntukkan untuk pengembangan aktivitas pariwisata yang berkelanjutan. Penilaian kepekaan geokonservasi pada penelitian ini lebih menekan pada aspek variasi dari morfologi karst. Dengan melakukan pembobotan pada aspek ancaman, keunikan dan variasi morfologi. Hasil dari penilaian kepetingan geokonservasi kemudian akan di urutkan berdasarkan tingkatan nilai di seluruh kawasan kajian. Penelitian ini diharapakan dapat mendapatkan penilaian kepentingan suatu obyek untuk di konservasi.
Untuk menilai potensi visual dari panorama alam karst Gunung Sewu dilandasi pada sistem penilaian yang dikeluarkan oleh Bureau of Land Management meliputi unsur bentuklahan, vegetasi, air, warna, pemandangan, kelangkaan, dan modifikasi yang dilaksanakan oleh manusia terhadap alam.
Dari hasil penilaian potensi visual dari kawasan eko-karst Gunung Sewu dan nilai kepentingan geokonservasinya maka dapat dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui arahan pengembangan wisata alam. Daerah yang peka terhadap kerusakan memerlukan respon pengelolaan yang lebih protektif untuk menjaga kelestarian kawasan.


1.8. Batasan Operasional
Bukit karst, topografi positif yang merupakan sisa dari pelarutan yang lokasi dan bentuknya terkait erat dengan lembah tertutup yang ada disekitarnya (Ford and Williams, 1996)
Doline, bentukan negatif dari proses pelarutan berbentuk melingkar membulat atau hampir membulat dengan diameter mulai dari beberapa meter sampai satu kilometer (Ford and Williams, 1996)
Geokonservasi, konservasi dari geodiversitas untuk nilai hakekat, ekologikal, dan geoheritage, dimana geodiversitas merupakan keanekaragaman dari kenampakan, kumpulan dan sistem dari geologi (bedrock), geomorfologi (landform), dan tanah (Sharples, dalam Anonim, 2002)
Geodiversitas, nilai dari kumpulan sistem dan proses geologi (bedrock), geomorfologi (bentuklahan) dan tanah (Sharples, 2007, dalam Anonim, 2002)
Karren, merupakan bentuk-bentuk permukaan kasar pada permukaan batugamping akibat proses pelarutan dan pengerusan (Thronbury, 1958)
Lembah, merupakan topografi negatif yang terbentuk akibat adanya tenaga fluvial atau solutional (Susmayadi, 2006)
Konservasi, upaya menjaga kelangsungan pemanfatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa datang
Kawasan eko-karst, merupakan kawasan ekosistem karst yang dilindungi oleh pemerintah, segala aktivitas pengembangan kawasan harus menjaga keseimbagan ekosistem karst (Departemen ESDM, 2004)
Wisata, kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikati obyek dan daya tarik wisata (Yeoti, 2000)

Tidak ada komentar: