6 November 2008

Bab III

BAB III
DESKRIPSI WILAYAH

3.1. Letak, Batas, dan Luas Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan Eko-Karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul Propinsi DIY, Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Daerah penelitian secara astronomi terletak antara 9086877-9125073 mU dan 425196-508759 mT. Secara administratif daerah penelitian terdiri atas 21 kecamatan di tiga Kabupaten, yaitu Kecamatan Pracimantoro, Paranggupito, Giritronto, Eromoko, dan Giriwoyo di Kabupeten Wonogiri; Kecamatan Punung, Donorejo, dan Pringkuku di Kabupeten Pacitan; dan Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen di Kabupaten Gunungkidul . Adapun batas daerah penelitian adalah :
sebelah selatan : Samudera Hindia
sebelah timur : Kota Pacitan
sebelah utara : Kecamatan Nglipar, Ngawen, Semin, dan Beji di Kabupaten Gunungkidul; Kecamatan Eromoko, Batuwarno, dan Baturetno di Kabupaten Wonogiri; Kota Pacitan di Kabupaten Pacitan
sebelah barat : Kabupaten Bantul
Kawasan karst ini merupakan rangkaian kawasan Eko-Karst Gunungsewu yang memanjang ke arah timur dari Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berakhir di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Secara umum lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.


























3.2. Kondisi Geologi dan Geomorfologi
3.3.1. Stratigrafi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tim Geologi UGM (1994, dalam Latif, 2000) yang mendasarkan pada penamaan formasi dan penelitian sebelumnya, daerah Gunungsewu tersusun oleh delapan formasi batuan. Peta Geologi dari daerah penelitian disajikan pada Gambar 3.2.
1. Formasi Wungkal – Gamping (Tew)
Formasi ini tersusun oleh perulangan batu pasir kuarsa, napal, napal pasiran, batu lempung, dan lensa batu gamping. Bagian bawah terdiri perselingan antara batupasir dan batulanau, dan lensa batu gamping. Umur Formasi ini Eosen Tengah – Eosen Akhir ( P 15 – P 17). Sebagian dari satuan ini seula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat dilereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah sehingga merupakan ‘exotic faunal assemblage” (Raharjo, 1980, dalam Surono dkk, 1992)
2. Formasi Kebo – Butak (Tomk)
Formasi ini tersusun secara tidak selaras di atas Formasi Wungkal – Gamping. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 650 meter. Terdapat dua kelompok batuan yang menyusun formasi ini. Dua kelompok batuan tersebut yaitu sebagai berikut:
· bagian bawah, tersusun dari batu pasir berlapis baik, batu lanau, batu lempung, serpih, tuf dan aglomerat
· bagian atas, tersusun dari batu pasir dan batu lempung dengan sisipan tipi tuf asam
Pada beberapa tempat pada bagian tengah di jumpai lava andesit-basalt dan di atasnya dijumpai sedikit breksi andesit. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (N 2 – N 4). Lingkungan pengendapannya adala laut terbuka yang terpengaruh arus turbin.
3. Formasi Semilir (Tms)
Formasi ini berada selaras di atas Formasi Kebo – Butak. Formasi ini tersusun dari breksi batu apung dasitan, batu pasir tufan dan serpih. Ketebalan satuan ini diduga lebih dari 460 m. Bagian bawah dari satuan ini berlapis baik, berstruktur sedimen perairan, silang-siur berskala menengah dan berpermukaan erosi. Di bagian tengahnya dijupai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan kepingan koral pada breksi gunungapi. Di bagian atasnya ditemukan batulempung dan serpih dengan ketebalan lapisan sampai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah laut.
Formasi Semilir menindih selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara setempat tidak selaras. Formasi Semilir menjemari dengan Formasi Ngelanggran dan tertindih tak selaras oleh Formasi Oyo. Umur formasi ini adalah Miosen Awal hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 5 – N 9). Lingkungan pengendapannya berkisar dari laut dangkal yang berarus kuat (bagian bawah dan tengah satuan) hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbin (bagian atas satuan).
4. Formasi Nglanggran (Tmng)
Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Semilir. Formasi ini tersusun dari breksi gunungapi, batu pasir vulkanik, lava andesit-basalt, breksi autoklastik dan breksi hialoklastik. Breksi gunungapi dan aglomerat yang menguasai Formasi Nglanggran umumnya tidak berlapis. Fragmennya terdiri dari andesit dan sedikit basal. Di bagian tengah formasi pada breksi gunungapi ini ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Setempat satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik. Umur formasi ini seumur dengan Formasi Semilir, yaitu Miosen Awal bagian tengah hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 5 – N 9)
Struktur sedimen yang dijumpai pada satuan ini berupa perjarian sejajar, perlapisan berlapis, dan cetakan beban (load cast) menunjukkan adanya aliran longsor (debris flow). Pada bagian atasnya ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya pengaruh arus kuat pada waktu pengemdapan. Adanya betugamping koral menunjukkan lingkungan laut. Sehingga secara umum lingkungan pengendapannya adalah laut yang disertai longsoran bawah laut.
5. Formasi Sambipitu (Tmss)
Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Nglangran. Formasi ini tersusun dari perselingan batu gamping dan serpih gampingan. Struktur sedimen yang ditemukan berupa perlapisan bersusun, perjarian sejajar, dan gembur gelombang (current ripple), yang menunjukkan adanya arus turbid. Bagian atasnya terbentuk oleh batupasir sela berfelspar yang berlapis baik dan bersisipan serpih, batulempung dan batulanau. Struktur sedimen pada bagian ini berupa perlapisan bersusun, perjarian sejajar, silang-siur, gelembur gelombang, longsoran, “flame”, dan jejak binatang; yang menunjukkan adanya longsoran bawah laut yang berkembang menjadi arus turbin. Umur formasi ini adalah Miosen Tengah bagian bawah (N 10 – N 11)
6. Formasi Oyo (Tmo)
Formasi Oyo tersusun secara tidak selaras di atas Formasi Nglangran dan membaji dengan Formasi Sambipitu dengan ketebalan lebih dari 140 m. Formasi ini tersusun dari batugamping tufan, tuf andesitisan, yang berlapis baik dengan struktur nendetan dan biogenik. Formasi ini berumur Miosen Awal Bagian Atas hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 10 – N 11). Lingkungan pengendapannya laut dangkal (neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.


7. Formasi Wonosari – Punung (Tmpw)
Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo. Formasi ini tersusun dari batu gamping berlapis dan batu gamping terumbu, setempat-setempat dijumpai batu pasir tufan, batu gamping napalan tufan dan batu lanau. Sedangkan di daerah Punung berupa batugamping berlapis, batugamping terumbu, dan batugamping napalan; yang menjemari dengan batugamping tufan, lempung, batugamping dan napal konglomerat. Nampak ada perbedaan pada kedua daerah tersebut, yaitu daerah punung ditemukan klastika kasar dan tufan, sedang di daerah Wonosari tidak. Namun kenyataan di lapangan keduanya sukar dipisahkan.
Formasi ini berumur Miosen Tengah bagian bawah hingga Miosen Atas (N 10 – N 18). Lingkungan pengendapan Formasi Wonosari – Punung adalah laut dangkal (netritik) yang mendangkal ke arah selatan. Ketebalan satuan ini di duga lebih dari 800 meter. Bagian bawah formasi ini menjemari dengan bagian bawah Formasi Oyo, sedangkan bagian atasnya menjemari dengan bagian bawah Formasi Kepek.
8. Formasi Kepek (Tmpk)
Formasi ini tersusun dari perselingan batu gamping dan napal. Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o, dan kaya akan fosil foram kecil. Tebal satuan ini diduga kurang dari 200m. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas Formasi Wonosari-Punung. formasi ini berumur Miosen Atas hingga Pliosen (N 16 – N 18).





























3.3.2. Struktur Geologi dan Tektonika
Tektonisme yang terjadi di pengunungan selatan adalah pengangkatan, penurunan, dan pensesaran. Selama masa Kenozoikum, pengunungan Selatan mengalami empat kali pengangkatan dengan intensitas yang berbeda. Pengangkatan pertama terjadi pada Kala Eosen dengan intensitas lemah. Pengangkatan kedua terjadi pada kala Oligosen-Miosen dengan intensitas lemah. Pengangkatan keriga terjadi pada Kala Miosen. Pengangkatan ketiga ini memiliki intensitas yang lebih besar dari pada pengangkatan pertama dan kedua. Pengangkatan keempat terjadi pada Kala Pliostosen Tengah. Pada pengangkatan keempat ini memiliki intensitas yang paling besar dan terbentuk kenampakan seperti sekarang ini. Pada proses pengangkatan terakhir pengunungan Selatan miring ke selatan dan membentuk sayap bagian selatan dari geoantiklin Jawa. Selama puncak pengangkatan ini, puncak geoantiklin yang terletak di Solo terpatahkan dan tergelincir ke arah utara. Amblesan ini merupakan sesar-sesar tangga, sehingga pada batas antara Zone Solo – Zone Pengunungan Selatan terbetuk blok-blok yang terpisah, misalnya Plopoh Range dan Kambengan Range. Permukaan yang miring ke selatan ini mengalami pelengkungan sehingga terbentuk cekungan baturetno dan cekungan Wonosari. Kedua cekungan ini umumnya dibatasi oleh sesar-sesar tangga dimana bagian utara mengalami penurunan sementara gawir sesarnya cekung ke utara (Putrisari, 2008).
Pada kala Plistosen Atas yang masih merupakan fasa tektonik mampatan sebagian besar batugamping sudah berada di atas permukaan laut. Pembentukan sistem retakan baratlaut-tenggara dan utara-selatan yang berkembang menjadi sesar-mendatar tidak hanya melibatkan batuan Oligosen-Miosen saja tetapi juga sebagian batugamping Neogen. Sesar timurlaut-baratdaya yang terbentuk pada fasa tektonik sebelumnya mengalami reaktivasi, sekaligus teralihkan ke timur karena pemotongan sistem sesar baratlaut-tenggara. Proses pengembalian gaya di akhir fasa tektonik Pliosen Akhir menyebabkan terbentuknya sistem retakan tarikan barat-timur dan terbukanya retakan timurlaut-baratdaya, sehingga selain batugamping terkekarkan dan tersesarkan pada arah-arah tersebut juga mengalami peretakan utara-selatan. Mengakibatkan sistem retakan barat-timur mencapai perkembangan maksimumnya. Pada kala ini di daerah Lembah Sadeng dan sekitatnya berkembang empat sistem retakan utama yang masing-masing berarah timurlaut-baratdaya, baratlaut-tenggara, utara-selatan, dan barat timur.
Ada dua sesar mayor yang terjadi pada Pegunungan Selatan, yaitu sesar yang terjadi pada Kompleks Baruragung dan sesar yang memisahkan bagian selatan dan cekungan Baturetno dan Wonosari. Sesar utama yang terdapat di pegunungan Selatan merupakan sesar normal dan sesar jurus. Sesar jurus dapat diamati pada pola kelurusan yang mempunyai arah tenggara melengkung ke arah barat daya dan pararel di sepanjang jalur Pegunungan Selatan. Sesar-sesar ini menyebabkan pelengkungan alur sungai, diantaranya adalah Bengawan Solo Purba yang dahulunya mengalir ke selatan karena terkontrol oleh keberadaan sesar, maka dapat diduga bahwa sesar yang terjadi di pegunungan Selatan terjadi sebelum proses pengangkatan berlangsung (Putrisari, 2008).

3.3.3. Geomorfologi
Kawasan karst Gunungsewu secara fisiografis masuk ke dalam pengunungan Selatan (Bemmelen, 1979). Pegunungan selatan ini dapat dibagi menjadi tiga zona yakni bagian utara atau komplek Baturagung (Baturagung range), bagian tengah atau depresi Wonosari dan Baturetno, dan bagian selatan Perbukitan Karst atau lebih di kenal dengan Gunungsewu (Gambar 3.3.).
9. Komplek Baturagung
Daerah ini terletak pada elevasi antara 200 – 700 meter dpl. Memiliki relief bergelombang hingga berbukit dengan kemiringan 15% hingga 40%.
10. Depresi Wonosari dan Baturetno
Daeah ini berada pada elevai anatara 150 – 200 meter dpl. Memiliki relief yang relatif datar dan kemiringan lerengnya asekitar 0% hingga 15%. Depresi ini terbentuk bersamaan dengan pengangkatan Pengunungan selatan karena material penyusun daerah ini relatif plastis, maka pada pertengahan pleistosen zone ini secara relatif turun kebawah.
11. Gunungsewu


Daerah ini memiliki elevasi anatara 150 hingga 200 meter dpl. Memiliki reief yang datar dan kemiringan lerengnya sekitar 0% hingga 15%.






















Daerah penelitian secara fisiografis masuk pada subzona Gunungsewu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Latif (2000) di kawasan karst Gunungsewu membagi daerah tersebut menjadi tiga wilayah didasarkan pada karateristik fisiografinya, yaitu wilayah utara,wilayah tengah dan wilayah selatan. pembagian tersebut yaitu sebagai berikut;
wilayah selatan, dicirikan oleh topografi yang secara regional melandai ke arah selatan dengan kemiringan sekitar 5%. Pada penampang melintang tanpak adanya empat teras pendataran yang dipisahkan oleh tekuk lereng yang relatif curam. Pendataran ini disebabkan oleh kondisi diam relatif dataran terhadap muka air laut sehingga terbentuk peneplain, sedang tekuk lereng yang curam disebabkan oleh adanya penurunan relatif dataran.
wilayah tengah, wilayah ini secara regional relatif datar dengan topografi bergelombang. Karstifikasi pada daerah ini telah berkembang lebih lanjut bila dibandingkan dengan wilayah selatan.
wilayah utara, wilayah ini merupakan bidangpatahan yang memisahkan subzona Gunungsewu denga subzona Depresi Wonosari. Kemiringan lereng regionalnya paling curam yaitu sekitar 15%.
Masing-masing wilayah di atas memiliki karateristik sendiri dalam perkembangan karstifikasi. Berdasarkan perkembangannya, wilayah tengah mempunyai usia tertua, kemudian wilayah selatan dan yang termuda adalah wilayah utara. Karstifikasi di wilayah utara di kontrol oleh sesar yang tersingkap akibat patahan. Karstifikasi di wilayah selatan dikontrol oleh aliran purba dan fluktusai air laut. Karstifikasi di wilayah tengah dikontrol oleh lingkungan masa lampau dan mengalami peremajaan pada akhir Plistosen.
Karst Gunungsewu memiliki variasi morfologi yang beragam di dukung oleh arah perkembangan dan stadium karstifikasi. Bentukan positif yang ada antara lain bukit-bukit karst dengan karateristik yang khas yakni berbentuk kerucut atau lebih dikenal dengan conical karst. Bentukan negatif yakni doline, uvala,dan cockpit. Variasi bentukan doline seperti uvala, polje dan cockpit di dasari pada morfografi dan morfometri dari doline. Bentukan cockpit merupakan bentukan khas yang hanya terdapat pada daerah karst dengan iklim tropis, terbentuk akibat pengabungan beberapa doline yang membentuk cekungan dengan morfografi menyerupai bintang dan dikelilingi oleh perbukitan.
Ponor-ponor yang terbentuk akibat proses pelarutan pada rekahan-rekahan di batuan gamping menjadi awal dari pembentukan doline dan juga gua-gua di kawasan gunungsewu. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh banyak pemerhati karst telah dapat menginventarisasi gua-gua dikawasan karst gunungsewu.

3.3. Kondisi Klimatologi
Iklim memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap bentuklahan karst. Pengaruh iklim terhadap perkembangan bentuklahan karst adalah curah hujan dan temperatur, namun di antara keduanya curah hujan memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada temperatur (Sweeting, 1972). Curah hujan dan temperatur berpengaruh dalam proses melarutkan batugamping dan senyawa karbonat lainnya.
Klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya hanya menggunakan data curah hujan karena kondisi curah hujan sangat berubah terhadap musim, sedangkan suhu udara di Indonesia sepanjang tahun relative konstan. Faktor iklim melalui air hujan dan suhu sangat berpengaruh dalam proses erosi dan pelapukan yang terjadi pada batuan induk. Proses erosi dan pelapukan yang terjadi pada iklim tropis lebih cepat dibandingkan daerah lainnya, pelapukan secara fisik melalui air hujan menyebabkan proses erosi berlangsung intensif, sementara pelapukan secara kimia melalui suhu udara menyebabkan terjadinya proses pelapukan pada batuan induk.

3.3.1. Curah Hujan
Untuk melihat kondisi dari iklim di kawasan Karst Gunungsewu maka di lakukan perhitungan nilai curah hujan rata-rata. Nilai curah hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 menunjukkan curah hujan rata-rata disetiap stasiun penakar hujan. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa curah hujan rerata tahunan berkisar antara 1163,88 mm/th sampai 2755,5 mm/th.

Tabel 3.1. Curah hujan tahunan (dalam millimeter)
Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1995 2406 3992 3016 2679 1443 1763 1092 1816 1762.93 2349.4 2230 2920 2168
1996 1584 2190 2345 1934 2078 1926 1980 1434 634.78 2121.3 1308 1518 1309
1997 1292 1444 1661 1070 1808 1953 1223 1002 161.5 1037.6 115 741 1029
1998 2744 3981 4408 3455 832 2191 737 2551 2175.2 2132.8 2374 2635 2748
1999 2422 3035 3431 3366 1736 920 1761 1706 1274.4 1733.2 1751 1788 1838
2000 2332 3000 3701 2879 1976 1770 2028 1619 591.9 1497.5 1909 1863 1757
2001 2503 3187 3309 1762 1742 1423 1232 1548 1569.8 1734.5 2216 2132 1607
2002 1655 1922 1796 2576 1688 1842 1308 1858 597.4 1598 2277 2419 1368
2003 1991 2101 2206 1248 1131 1259 1368 1508 1594.4 1135.5 1205 2860 1366
2004 1965 1496 1682 2613 1403 1258 1944 1556 1276.5 1308 1237 2629 961
∑: 20894 26348 27555 23582.5 15837 16305 14673 16598 11638.81 16647.8 16622 21505 16151
Rata-
rata : 2089,4 2634,8 2755,5 2358,3 1583,7 1630,5 1467,3 1659,8 1163,8 1664,8 1662,2 2150,5 1615,1
Sumber : Analisis Data
Keterangan :
1 Sta. Donorojo 5 Sta. Pracimantoro 9 Sta. Terong
2 Sta. Punung 6 Sta. Giriwoyo 10 Sta. Siluk
3 Sta. Pringkuku 7 Sta. Giritontro 11 Sta. Karangmojo
4 Sta. Pacitan 8 Sta. Eromoko 12 Sta. Ponjong
13 Sta. Semanu

3.3.2. Tipe Iklim
Penentuan tipe iklim pada daerah penelitian didasarkan pada penggolongan tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson. Penggolongan didasarkan pada nilai Q, yaitu :

Tipe iklim berdasarkan besarnya indeks Q, adalah sebagai berikut :
Tipe A (Sangat Basah), dengan besar indeks
Tipe B (Basah), dengan besar indeks
Tipe C (Agak Basah), dengan besar indeks
Tipe D (Sedang), dengan besar indeks
Tipe E (Agak Kering), dengan besar indeks
Tipe F (Kering), dengan besar indeks
Tipe G (Sangat Kering), dengan besar indeks
Tipe H (Luar Biasa Kering), dengan besar indeks
Mohr mengklasifikasikan kriteria bulan basah dan bulan kering sebagai berikut :
a. Bulan basah apabila curah hujan bulanan >100 mm.
b. Bulan lembab apabila curah hujan bulanan 60-100 mm.
c. Bulan kering apabila curah hujan bulanan <60 mm.
Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui besarnya total hujan tahunan, curah hujan bulan terkering, curah hujan bulan terbasah serta jumlah bulan kering dan bulan basah di daerah penelitian. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Karakteristik Curah Hujan, Besarnya nilai Q dan Tipe Iklim
Stasiun Penakar Hujan
Total Curah Hujan Tahunan Curah hujan bulan terbasah Curah hujan bulan terkering Jumlah bulan kering Jumlah bulan basah Q Tipe
Iklim
Stasiun Donorojo 2089.4 420.5 22.8 4 7 0.57 C
Stasiun Punung 2634.8 487.8 11.9 1 7 0.14 A
Stasiun Pringkuku 2755.5 476.7 30.5 1 7 0.14 A
Stasiun Pacitan 2358.25 365.21 21.627 3 7 0.43 C
Stasiun Pracimantoro 1583.7 380.8 5.2 6 6 1 D
Stasiun Giriwoyo 1630.5 426.3 0 5 6 0.83 D
Stasiun Giritontro 1467.3 296.1 4.9 4 6 0.67 D
Stasiun Eromoko 1659.8 346 2.1 7 4 1.75 F
Stasiun Terong 1163.88 234.21 2.7 5 5 1 D
Stasiun Siluk 1664.78 349 4.49 5 6 0.83 D
Stasiun Karangmojo 1662.2 351.3 7.3 5 7 0.71 D
Stasiun Ponjong 2150.5 399.4 3.3 3 7 0.43 C
Stasiun Semanu 1615.1 315.9 2.1 4 6 0.67 D
Sumber : Analisa Data
Tipe iklim pada kawasan karst akan mempengaruhi proses pelapukan batuan karbonat. Pada kawasan karst dengan tipe iklim tropis basah akan mengakibatkan proses pelapukan batuan berlangsung lebih cepat dibandingkan proses pelapukan pada kawasan beriklim tropis musim, dikarenakan iklim tropis basah memiliki curah hujan dan tingkat kelembapan yang tinggi, mendukung proses pelapukan batuan karbonat seperti batugamping dan dolomit.
Suhu lingkungan ikut berpengaruh dalam proses pelarutan. Meningkatnya suhu lingkungan akibat aktivitas mahluk hidup dapat mengakibatkan reaksi kimia dan biokimia di kawasan karst sehingga proses pelarutan dapat berjalan lebih cepat.

3.4. Kondisi Hidrologi

Air permukaan di kawasan karst Gunungsewu dikontrol oleh struktur geologi seperti retakan dan diaklas, kondisi kekerasan batuan, dan morfologi permukaan. Struktur geologi sangat menentukan besar kesilnya koefisien aliran dan cadangan airtanah. Sistem hidrologi permukaan pada kawasan karst gunungsewu, menurut McDonald & Partners (1984, dalam Kapedal, 2005), dikenal dengan sistem authigenic.
Air hujan yang jatuh di atas topografi karst sebagian menjadi limpasan permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah. Limpasan permukaan tersebut kemudian berkumpul dan mengalir sebagai sistem sungai. Air hujan yang meresap ke dalam tanah masuk ke dalam sistem perkolasi authigenic melalui zona rekahan. Sistem cekungan dan sistem rekahan tersebut akhirnya masuk ke dalam luweng menuju sistem sungai bawah tanah yang pada akhirnya dapat muncul kembali ke permukaan sebagai mataair dan rembesan di sepanjang pantai (Kapedal, 2005).
Gambar 3.4 menunjukkan kondisi authigenic pada sistem sungai banjar, kondisi ini juga dapat ditemui pada sistem kali suci, dan mulo-ngingrong. Sungai permukaan ini nampak di permukaan namun kemudian dapat menghilang masuk pada gua atau luweng menuju sistem sungai bawah tanah, kemudian keluar kembali ke permukaan dan masuk lagi, demikian terjadi seterusnya hingga bermuara pada suatu pantai. Sungai permukaan jarang sekali ditemui di kawasan karst Gunungsewu.
Ketersedian air pada kawasan karst di pengaruhi oleh kondisi musim. Saat musim penghujan dapat ditemukan banyak sumber-sumber air seperti telaga. Telaga merupakan sebuah doline atau gabungan beberapa doline yang pada bagian dasarnya tertutup oleh material kedap air seperti lempung. Telaga dapat dijumpai pada depresi karst di antara kubah-kubah karst di kawasan karst Gunungsewu. Sebagai salah satu sumber air, masyarakat Gunungsewu memanfaatkan telaga untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti mandi, mencuci, dan memasak. Gambar 3.2 menunjukkan tidak semua telaga dapat digunakan sepanjang tahun karena kondisi telaga di Gunungsewu telah banyak mengalami kerusakan sehingga pada musim kemarau telaga kering. Selain telaga sumberair masyarakat di kawasan karst Gunungsewu adalah mata air yang pada umumnya dapat ditemui pada kaki perbukitan. Mata air yang ditemukan di kawasan karst Gunungsewu merupakan parenial dengan debit berkisar antara 5 – 50 liter/dt (Bappeda, 2007).



3.5. Penggunaanlahan
3.6. Kondisi Demografi
Penduduk
Penduduk menjadi faktor yang penting dalam pengembangan kawasan terutama untuk pengembangan pariwisata alam.. Eko-karst Gunungsewu memiliki potensi sumberdaya manusia dan dalam aspek kuantitas cukup baik. Dari hasil data data statistik Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan yang dapat dilihat pada Tabel 3.3., kondisi kependudukan dari segi kepadatan penduduk memiliki variasi yang beragam. Pada daerah yang menjadi pusat pemerintahan atau perdagangan akan memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Peran serta pemerintah dalam pengembangan daerah-daerah yang berada dalam kategori tertinggal atau kurang berkembang perlu ditangani secara lebih serius.

Tabel 3.3 Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan
No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km2) Kabupaten
1 Panggang 99.8 26116 261.6834
2 Purwosari 71.76 19181 267.2938
3 Paliyan 38.07 30207 793.4594
4 Saptosari 87.83 36280 413.0707
5 Tepus 104.91 33595 320.2269
6 Tanjungsari 71.63 26431 368.9934
7 Rongkop 83.46 29061 348.2027
8 Girisubo 94.57 55109 582.7324
9 Semanu 108.39 50829 468.9455
10 Ponjong 104.49 48529 464.4368
11 Karangmojo 80.12 48593 606.5027
12 Wonosari 75.51 75172 995.5238
13 Playen 105.26 52222 496.1239
14 Pracimantoro 112 67311 600.99
15 Paranggupito 171 21089 123.32
16 Giritronto 68 24816 364.94
17 Giriwoyo 98 47171 481.33
18 Eromoko 79 49521 626.84
19 Punung 108.81 35594 327,12
20 Donorejo 109.09 40251 368,97
21 Pringkuku 132.93 32156 241,9
Sumber : BPS Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan 2005

Tingkat Pendidikan
Secara umum tingkat pendidikan masyarakat yang berada di Kawasan Eko-karst Gunungsewu dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari besarnya prosentase penduduk yang menamatkan SD atau dibawahnya sebesar 70,99 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 71,63 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 64,83 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang menamatkan pendidikan hingga tamat SLTP sebesar 15,88 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 17,47 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 18,9 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang menamatkan hingga tingkat SMU dan SMK sebesar 10,28 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 9,19 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 12 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang berhasil menamatkan hingga perguruan tinggi sebesar 2,85 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 1,7 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 4,27 % untuk Kabupaten Pacitan. Tinggi pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator kualitas hidup penduduk yang juga berhubungan dengan tingkat perkembangan wilayah yang bersangkutan.
Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai masyarakat masih rendah sehingga akan berpengaruh terhadap sumberdaya manusia untuk mengembangkan potensi wisata di kawasan Eko-karst Gunungsewu. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap penyedian tenaga kerja terampil di bidang pariwisata.

Tabel 3.4 Presentase Penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Tingkat Propinsi
Persentase (%)
Gunungkidul Wonogiri Pacitan
Tidak punya 39.31 33.29 25.8
SD 31.68 38.34 39.03
SLTP 15.88 17.47 18.9
SMU & SMK 10.28 9.19 12
Diploma dan Perguruan Tinggi 2.85 1.7 4.27
Sumber : BPS Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan 2005

3.7. Sarana dan Prasarana Pariwisata Daerah Penelitian
3.7.1 Sistem Transportasi
Kawasan Eko-karst Gunungsewu dapat dijangkau dari Yogyakarta, Solo dan Pacitan dengan jarak tempuh beragam antara 1,5 – 3 jam dengan kendaraan bermotor. Sarana transportasi yang dapat digunakan mobil, motor, bis umum akan tetapi untuk menuju kebeberapa lokasi terpencil di kawasan ini diperlukan kendaraan pribadi karena transportasi umum belum dapat menjangkau daerah tersebut. Transportasi umum hanya beroperasi pukul 05.00 – 17.00 WIB.
Prasarana jalan yang dimiliki antara lain jalan aspal, paving block, dan jalan tanah dan batu. Melihat kondisi jalan secara umum perlu dilakukan beberapa perbaikan dan peningkatan kualitas jalan, karena banyak jalan tidak dalam kondisi yang baik dan dapat membahayakan pengguna jalan seperti Jalan Raya Wonogiri-Pacitan yang mengalami rusak cukup berat. Prasarana trasnportasi lainnya adalah terminal yang sangat diperlukan untuk mewujutkan ketertiban pemberentian dari berbagai jenis kendaraan.
3.7.2 Sistem Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan menusia yang penting dalam melakukan hubungan anatara satu dengan yang lain. Jaringan telokomunikasi telepon arau wartel hanya dapat ditemui pada kawasan ibukota kabupaten dan beberapa ibukota kecamatan yang sudah relatif maju. Daerah pedesaan belum dapat menerima akses komunukasi telepon. Sinyal seluler beberapa provider dapat dijangkau hampir diseluruh kawasan karst akan tetapi memang terdapat beberapa desa yang berlokasi di lembah tidak dapat menerima sinyal telepon selular dikarenakan faktor topografi.
3.7.3 Sumber Daya Listrik
Masyarakat menggunakan sumber listrik berasal dari PLN yang dialirkan melalui tiang listrik. Dibanyak tempat ditemui tiang dengan kondisi miring akibat tanah yang tidak stabil. Listrik sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat sudah terdistribusi secara merata di Kawasan Eko-Karst Gunungsewu sampai pada tingkat desa. Daya yang digunakan oleh masyarakat masih relatif kecil.
3.7.4 Sarana Akomodasi
Akomodasi penginapan hanya terdapat pada ibukota kabupaten yakni Kota Pacitan, Wonogiri dan Wonosari. Fasilitas hotel dan penginapan yang berada di Kabupaten Wonogiri dan Gunungkidul hanya terdiri dari hotel berklasisikasi Melati. Secara keseluruhan jumlah hotel yang tercatat pada tahun 2003 di Kabupeten Wonogiri adalah sebanyak 17 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 237 buah, Kabupeten Gunungkidul sebanyak 9 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 124 buah, dan sebanyak 10 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 225 buah di Kabupeten Pacitan. Rumah makan dan restoran yang menjajakan menu khas seperti sego abang, dan jangan lombok ijo dapat di jumpai disepanjang kawasan karst Gunungsewu.

1 komentar:

goresansherli mengatakan...

bagus......mkasih, ada referensi utk buat laporan,,,tapi kok gag ada gambarnya.....